google-site-verification=YyoQycYeX1oqBXs24tjZgisdL-bsneSSAuvFyVbld3E
Kenangan “Watuk”-nya Gunung Slamet 2009 di Mata Karmin: Ketika Warga Guci Tetap Tenang Saat Gunung Bergolak -->

Menu Atas

Advertisement

Link Banner

Peta Covid

Kenangan “Watuk”-nya Gunung Slamet 2009 di Mata Karmin: Ketika Warga Guci Tetap Tenang Saat Gunung Bergolak

Senin, 08 Desember 2025


INFOPBG.COM, Purbalingga - Tahun 2009 menjadi salah satu periode paling mengesankan dalam ingatan Karmin, seorang pekerja hotel yang kala itu telah tiga tahun menetap di kawasan wisata Guci, Kabupaten Tegal. Hidup di lingkungan pegunungan membuatnya akrab dengan kabut pagi, aroma pinus, dan siluet Gunung Slamet yang seakan menjadi penjaga alam dari kejauhan.

Namun ketenangan itu berubah ketika status Gunung Slamet resmi dinaikkan ke Siaga Level 3, hanya satu tahap di bawah status Awas. Aktivitas vulkanik Slamet saat itu tercatat sebagai salah satu yang paling intens dalam sejarah modern. Suhu air panas Guci melonjak tak biasa, mencapai 60–70 derajat Celsius, sementara beberapa pancuran seperti 5, 7, dan 13 tampak berasap pekat layaknya air mendidih.

Pemerintah menutup total kawasan wisata Guci. Wisatawan dilarang masuk. Hotel tempat Karmin bekerja mendadak sunyi seperti bangunan kosong—tanpa tamu, tanpa aktivitas, hanya suara angin dan gemuruh dari arah puncak.

Di tengah situasi itu, pemilik hotel menyarankan seluruh karyawan pulang sementara. Karmin mengakui, sebagai pendatang, ia sempat merasa cemas. Namun kekhawatiran itu mereda ketika warga lokal datang menenangkan.

“Ora papa… Slamet mung watuk tok, Mas.”

Tidak apa-apa, Slamet cuma batuk.

Bagi masyarakat Guci yang sejak kecil hidup berdampingan dengan gunung, gejolak alam bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Mereka memahami tanda-tandanya, kapan gunung sekadar bergolak, dan kapan benar-benar perlu diwaspadai.

Sementara aparat TNI dan Polri sibuk memasang jalur evakuasi serta menyiapkan tenda pengungsian, warga tetap beraktivitas seperti biasa—ngebom ladang, ngarit, dan bekerja di sekitar lereng. Beberapa pemuda setempat bahkan nekat mendaki hanya bermodalkan sarung dan sandal jepit untuk merekam kawah Slamet yang sedang aktif. Rekaman mereka kemudian sempat tayang di stasiun televisi nasional.

Pada malam hari, meski kawasan wisata ditutup, warga dan beberapa pekerja hotel masih kerap berkumpul di area parkir bus Guci. Mereka duduk menghadap ke arah lereng yang gelap, menanti momen ketika guguran lava tampak meluncur dari puncak gunung.

Ketika cahaya merah itu muncul, kerumunan kecil itu bersorak kagum, bukan karena menantang bahaya, tetapi karena menghormati fenomena alam yang mereka yakini telah dikenali sejak lama.

“Orang lereng gunung sering dibilang ngeyel,” kata Karmin. “Padahal sebenarnya itu bentuk keintiman dengan alam, keberanian yang lahir dari kebiasaan.”

Dua minggu berselang, aktivitas Gunung Slamet kembali mereda. Kawasan wisata dibuka lagi, hotel kembali beroperasi, dan kehidupan berjalan seperti sebelumnya.

Enam belas tahun berlalu, kenangan itu tetap membekas bagi Karmin, tentang warga yang tetap tenang saat gunung bergolak, tentang tawa di bawah langit malam, dan tentang kalimat sederhana yang membuatnya bertahan di masa genting:

“Ora papa… Slamet mung watuk.”

Karmin pun masih mengenang sosok-sosok yang menemaninya melewati masa itu, Mas Jimmy, Mas Pungut sang pecinta alam, Bu Sayem, Bu Umi, Pak Wagiman, Pak Khamim, hingga bapak-ibu penjual makanan depan hotel yang selalu siap menyelamatkan para pekerja dari kelaparan.

Meski waktu terus berjalan, bagi Karmin, nama-nama itu tetap hidup sebagai bagian dari cerita tentang Gunung Slamet, gunung yang ia hormati, ia percayai, dan ia doakan tetap dalam “keselamatan”, sesuai dengan namanya.