INFOPBG.COM, Purbalingga - Angka perceraian di Kabupaten Purbalingga terus menunjukkan tren yang tinggi. Hingga Agustus 2025, Pengadilan Agama Purbalingga mencatat sebanyak 1.974 perkara perceraian, dengan mayoritas kasus didominasi gugatan cerai yang diajukan pihak istri.
Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Purbalingga, Wakhid Salim, mengungkapkan bahwa penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, yang tercatat sebanyak 841 kasus. Faktor ini menjadi penyumbang terbesar dibandingkan penyebab lainnya.
“Faktor ekonomi berada di urutan kedua dengan 305 kasus, disusul alasan meninggalkan salah satu pihak sebanyak 210 kasus,” ujar Wakhid saat ditemui Tribunbanyumas.com, Kamis (18/9/2025).
Selain tiga faktor utama tersebut, terdapat pula penyebab lain meski jumlahnya relatif kecil, seperti kekerasan dalam rumah tangga (3 kasus) serta perjudian (1 kasus).
Kompleksitas Masalah Rumah Tangga
Menurut Wakhid, permasalahan rumah tangga yang berujung perceraian sangatlah kompleks. Perselisihan umumnya dipicu oleh kurangnya komunikasi, hadirnya orang ketiga, hingga ketidakadilan dalam aspek ekonomi.
“Permasalahan itu bukan hanya dari satu sisi. Ada yang karena pasangan tidak terbuka, ada juga yang merasa secara ekonomi tidak seimbang. Semua itu bisa memicu konflik,” jelasnya.
Meski demikian, Pengadilan Agama tetap berupaya mendorong mediasi sebelum perkara berlanjut ke putusan. Namun, mediasi hanya dapat dilakukan bila kedua belah pihak hadir dan bersedia berdamai.
“Ada proses mediasi sebelum sidang. Harapan kami tentu pasangan bisa rukun kembali. Tetapi jika keduanya sudah tidak ingin bersama, kami tidak bisa memaksa,” tambah Wakhid.
Gugatan Cerai dari Istri Lebih Tinggi
Dari total 1.974 perkara, tercatat 1.354 kasus cerai gugat diajukan oleh istri, jauh lebih tinggi dibandingkan 316 kasus cerai talak yang diajukan suami.
Fenomena ini, kata Wakhid, menjadi indikasi bahwa perempuan di Purbalingga kini semakin berani mengambil keputusan untuk keluar dari rumah tangga yang dianggap tidak sehat.
“Ini bukti bahwa perempuan di sini sudah lebih berani. Mereka memilih bangkit ketika menghadapi konflik, perselingkuhan, atau kesulitan ekonomi,” pungkasnya.