google-site-verification=YyoQycYeX1oqBXs24tjZgisdL-bsneSSAuvFyVbld3E
Ihtikâr Masih Sering Terjadi, Berikut Macam-Macam Hukum Menimbun Barang dalam Fiqih Jual Beli -->

Menu Atas

Advertisement

Link Banner

Peta Covid

Ihtikâr Masih Sering Terjadi, Berikut Macam-Macam Hukum Menimbun Barang dalam Fiqih Jual Beli

Rabu, 01 Oktober 2025


INFOPBG.COM, Mayuh Ngaji - Praktik penimbunan barang atau ihtikâr masih sering terjadi di tengah masyarakat, terutama pada komoditas bahan makanan pokok. Sebagian pelaku beralasan bahwa barang yang sudah dibeli adalah milik pribadi, sehingga sah-sah saja bila disimpan untuk kemudian dijual kembali. Namun, pandangan fikih tidak sesederhana itu.

Dalam kajian fikih, ihtikâr didefinisikan sebagai tindakan membeli komoditas penting lalu menyimpannya dengan tujuan menjual pada harga lebih tinggi, terutama saat masyarakat sangat membutuhkannya. Rasulullah ﷺ secara tegas melarang praktik tersebut.

Ibnu Umar ra meriwayatkan sabda Nabi:

 من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

"Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya." (HR. Ahmad).

 
روى أبو أمامة الباهلى أن النبى صلى اهلل عليه وسلم نهى أن يحتكر الطعام )رواه احلاكم فى املستدرك

Artinya: “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ telah melarang penimbunan makanan.” (HR. Hakim).

Pandangan Ulama

Meski demikian, ulama memberikan rincian. Menurut fuqaha Syafi‘iyah, Isma‘iliyah, dan sebagian Imamiyah, hukum penimbunan tidak selalu haram. Hukumnya bisa makruh, boleh (jaiz), bahkan sunnah, tergantung pada niat dan kondisi penimbunan.

Inti larangan terletak pada adanya unsur tadlyîq (menyulitkan masyarakat). Selama penimbunan tidak bertujuan merugikan atau menaikkan harga secara tidak wajar, maka hukumnya bisa berbeda.

Rincian Hukum Ihtikâr

Haram: jika barang ditimbun berupa bahan makanan pokok dengan niat menghilangkannya dari pasaran agar harga naik.

Makruh: jika penimbunan dilakukan tanpa niat merugikan masyarakat dan barang masih melimpah.

Jaiz (boleh): bila dilakukan pada saat lapang untuk kebutuhan keluarga, tanpa maksud mempengaruhi harga.

Sunnah: apabila penimbunan dilakukan saat harga murah atau surplus, dengan niat menjaga ketersediaan hingga masyarakat membutuhkannya kembali.

Kesimpulan

Dengan demikian, hukum menimbun barang tidak bisa dipukul rata sebagai haram. Ulama menegaskan, yang diharamkan adalah penimbunan yang menyulitkan masyarakat dengan menaikkan harga bahan pokok. Adapun menimbun untuk kebutuhan pribadi atau menjaga stok ketika harga murah, hukumnya boleh bahkan bisa menjadi sunnah.